Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Di tengah sorotan nasional atas perolehan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ke-17 kalinya yang diraih Pemerintah Kabupaten Tangerang, justru terkuak dugaan ironis: program proyek Sanitasi Pesantren (Sanitren) tahun 2023 berujung mangkrak. Sebuah perayaan angka-angka yang tak selaras dengan realitas di lapangan, di mana para santri harus mengais harapan di bangunan tanpa air, toilet tanpa fungsi, dan fasilitas yang tak lebih dari monumen janji.
Di mana fungsi pengawasan internal ketika dana ratusan juta ditransfer penuh 100% di awal, tapi realisasinya hanya 60%? Bukankah WTP seharusnya disertai dengan pengawasan yang konkret, bukan sekadar simbol administratif? Yang dibutuhkan rakyat bukanlah penghargaan berbingkai, tetapi air bersih yang mengalir dan toilet yang tak hanya dijadikan pajangan.

Kolase foto Proyek Pondok Pesantren Al Barkah, Desa Cireundeu, Kecamatan Solear, ditemukan dalam kondisi mangkrak, tak layak pakai, dan jauh dari kata selesai. Progres pembangunan baru 65% tanpa air, listrik, toren, dan finishing bangunan. Sama seperti pemberitaan yang Mantv7.d tayangkan sebelumnya, tidak ada respon dan tindakan sama sekali. (Foto: Mantv7.id)
Dugaan lemahnya fungsi Inspektorat dan APIP menjadi sorotan tajam. Jika lembaga ini tak mendeteksi sejak dini proyek yang berpotensi gagal fungsi, maka patut dipertanyakan apakah peran audit dan reviu hanya seremonial. WTP 17 kali tidak akan berarti jika di baliknya tersembunyi sanitasi pesantren yang gagal total.
Monitoring dan kontrol berkala pun layak dipertanyakan. Siapa yang melakukan cek rutin? Di mana laporan kemajuan mingguan? Siapa yang menyetujui Berita Acara Hasil Pekerjaan (BAHP) jika bangunan nyatanya belum selesai? Fungsi deteksi dan analisa sejak dini tampaknya terlewatkan oleh satuan kerja teknis yang mestinya tidak hanya andal di atas kertas.
Kepala Dinas Perkim sebagai pelaksana teknis lapangan belum mampu menjawab secara gamblang. Kegiatan yang didanai oleh APBD ini sejatinya adalah wujud pelayanan terhadap martabat umat. Ketika bangunan mangkrak, itu bukan sekadar kegagalan teknis itu bentuk pengkhianatan terhadap nilai keumatan.
Bagian Kesra Setda Kabupaten Tangerang sebagai pihak yang menandatangani NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) juga tidak bisa mencuci tangan. Apakah tugas mereka berhenti di meja administrasi tanpa ikut mengawasi pelaksanaan? Fungsi pendampingan dan fasilitasi semestinya bukan cuma formalitas, tapi tanggung jawab moral dan legal.
Bappeda yang menyusun program ini dalam RPJMD juga wajib menjelaskan: adakah kajian efektivitas dan kesiapan teknis dari setiap penerima hibah? Jangan sampai proyek ini hanya menjadi alat politik pencitraan berlabel religi yang nyatanya tak membawa manfaat riil.
Dugaan ketidakjelasan transparansi informasi juga muncul karena tidak adanya papan proyek di banyak lokasi pembangunan Sanitren. Ini melanggar prinsip keterbukaan informasi publik dan bertentangan dengan semangat UU KIP No. 14 Tahun 2008. Bagaimana rakyat bisa mengawasi proyek jika sejak awal informasinya sudah ditutup?

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
YLPK PERARI melalui Kabid Humas DPP, Siaarruddin menyampaikan kritik keras: “Kami tidak butuh klarifikasi basa-basi. Kami butuh audit menyeluruh, transparansi total, dan pertanggungjawaban terbuka dari semua pihak, dari bupati sampai kepala seksi. Ini uang rakyat, bukan uang warisan.”
Aktivis sosial Kabupaten Tangerang, Buyung, menambahkan, “Jika proyek ini benar-benar gagal, maka bukan hanya uang yang hilang. Kepercayaan publik juga hancur. Para pejabat yang diam melihat kegagalan ini seharusnya mundur atau dimundurkan. Jangan menari di atas penderitaan santri.”

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Bupati dan Wakil Bupati terpilih harus segera membedah total carut-marut kinerja jajaran pejabatnya. Sebab masyarakat sudah cukup sabar melihat pejabat digaji dari pajak rakyat tapi tidak mampu menghadirkan fasilitas dasar yang layak. WTP 17 kali tak akan pernah bermakna jika toilet tak bisa disiram dan santri mencium bau kegagalan dari balik pintu kamar mandi.
Kerugian negara nyata bukan sekadar potensi. Jika satu proyek menelan ratusan juta, lalu mangkrak di ratusan titik, maka nilai kerugian tak hanya dalam rupiah, tapi juga dalam bobolnya integritas pemerintah daerah. Siapa yang bertanggung jawab atas uang yang sudah cair tapi hasilnya nihil?
DPRD Kabupaten Tangerang tidak boleh diam. Sebagai wakil rakyat, mereka wajib bersuara, melakukan pemanggilan, bahkan membentuk pansus jika diperlukan. Rakyat bukan hanya minta penjelasan, tapi solusi segera. DPRD harus menjadi garda pengawas, bukan sekadar penyimak sidang paripurna.
Saatnya fungsi pengawasan daerah dijalankan bukan hanya lewat meja rapat, tapi melalui investigasi lapangan. Jangan biarkan program bertopeng agama menjadi pelindung dari evaluasi. Semua pejabat, dari TAPD, SKPD, sampai ke inspektorat, wajib duduk satu meja dan membuka semua laporan secara terang benderang.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Dengan 700 titik proyek Sanitren di Kabupaten Tangerang, kini saatnya semua pihak turun langsung ke lapangan. Jangan hanya mengandalkan laporan kertas yang bisa direkayasa. Kami mengajak seluruh wartawan, aktivis, LSM, ormas keagamaan, dan lembaga kontrol sosial untuk bersama-sama melakukan pengecekan fisik di tiap lokasi.
Ini bukan soal mencari kesalahan, tapi soal menyelamatkan uang rakyat dan menjaga martabat pesantren. Jangan biarkan pembangunan fiktif berlindung di balik dalih religius. Bila ditemukan dugaan ketidaksesuaian, publikasikan! Laporkan! Jadikan media dan gerakan sipil sebagai benteng terakhir kejujuran.
Santri butuh toilet yang berfungsi, bukan janji manis pejabat. Sudah cukup WTP jadi panggung, sementara lapangan jadi reruntuhan. Mari kawal, cek, dan pastikan semua proyek Sanitren benar-benar menyentuh kebutuhan umat.
Proyek Sanitren seharusnya menjadi ladang pahala bagi birokrasi. Namun saat ia berubah menjadi tumpukan kekecewaan dan laporan setengah jadi, maka siapa pun yang terlibat wajib bercermin. WTP bukanlah tameng, ia hanya cermin. Dan di balik cermin itu, rakyat kini melihat yang sesungguhnya. Jangan biarkan anak-anak pesantren tumbuh dalam bau toilet mangkrak.
Jika masih punya nurani, perbaiki. Jika tak mampu, beri jalan bagi mereka yang mau bekerja dengan hati.
(OIM)