Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Video berdurasi 1 menit 59 detik yang beredar pada Kamis (5/6/2025) menampilkan suara pilu para emak-emak pedagang Pasar Sentiong, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Dengan wajah lelah dan nada geram, mereka mengadu pada aparat kepolisian, menyebut satu nama yang berulang: “Pak HR.” Nama ini, dalam video tersebut, disebut sebagai provokator dan pelaku utama dalam praktik jual-beli lapak di atas badan jalan yang kini telah dibongkar.
Ironisnya, oknum inisial HR sendiri disebut sebagai pedagang yang juga punya lapak di area luar pasar. Dugaan kuat mengarah pada peran ganda: sebagai penjual lapak ilegal dan sekaligus pencipta pasar bayangan. Beberapa ibu mengaku baru saja membeli lapak dari Heru dengan harga Rp8 juta, hanya untuk menyaksikan dagangannya dibongkar tanpa kompensasi. Suara seorang pria dalam video menyebut HR biasa membangun ulang dan menjual kembali lapak-lapak itu pasca dibongkar. Skema bisnis atau praktik kotor?

Foto Penertiban PKL di sekitar pasar Sentiong, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. (Foto: IST. Mantv7.id)
Unjuk rasa pun pecah pada Selasa (3/6/2025). Para pedagang resmi dari Pasar Tradisional Balaraja Mas melakukan aksi bakar ban dan blokade jalan, memprotes ketidakadilan sistematis. Mereka lelah bersaing dengan pedagang liar yang justru “dibina” oleh oknum, bukan ditindak. Kenapa para pemilik lapak sah merasa tak berdaya? Karena pembiaran oleh PD Pasar NKR, pemerintah kecamatan, dan desa Tobat yang seolah kehilangan fungsi pengawasan.
Lapak-lapak liar berdiri bukan satu atau dua hari, tapi bertahun-tahun. Lokasinya pun bukan tempat sembunyi: tepat di bahu jalan, memakan ruang publik, menghalangi arus ekonomi formal. Bukti tak terbantahkan bahwa fungsi pengawasan dan monitoring baik dari Satpol PP, Camat, Lurah, hingga Inspektorat tak lebih dari simbol struktur tanpa nyawa.
Kebijakan seolah dinegosiasikan secara informal oleh oknum pemerintah desa, menjadikan pelanggaran sebagai bahan dagang. Bahu jalan dan trotoar dikavling lalu dijual per meter. Di balik semua ini, ada dugaan praktik pungli, kesepakatan gelap, dan pembiaran sistemik. Jika negara hadir hanya untuk mengesahkan ketimpangan, apakah kita masih punya pemerintahan?

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddin, Kabid Humas DPP YLPK PERARI menyebut, “Ini bukan sekadar pembiaran. Ini adalah pengkhianatan terhadap asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Mereka yang diam atau bermain di belakang praktik ini, telah ikut meruntuhkan fondasi pelayanan publik.”
Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, menambahkan, “Saat hukum dikalahkan oleh premanisme lapak, dan pejabat pura-pura tak tahu, kita wajib mendesak audit menyeluruh. Bongkar siapa dalangnya, siapa yang terima setoran, dan siapa yang diam demi jabatan!”

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti sengaja dimatikan. Monitoring berkala, evaluasi, reviu, dan pemantauan kinerja tak pernah benar-benar berjalan. Apakah Satpol PP tak tahu? Apakah Inspektorat hanya bekerja pasca bencana anggaran?
DPRD Kabupaten Tangerang wajib turun tangan. Mereka bukan hanya wakil rakyat saat paripurna dan reses, tapi saat rakyat ditindas oleh sistem yang mereka biarkan tumbuh. Rakyat menunggu suara keras dari dewan, bukan sekadar formalitas. Rakyat minta solusi cepat, bukan seremonial pengalihan isu.
Kerugian negara akibat praktik jual-beli fasilitas umum ini nyata. Ketika pungutan liar dijadikan sumber pemasukan gelap, dan pembangunan kembali lapak liar dibungkus musyawarah, kas daerah dirampas dalam senyap. APIP harus terlibat dalam audit, bukan sekadar mengisi laporan tahunan.
Maka wajar jika rakyat bertanya, untuk siapa hukum ditegakkan? Jika pelapak ilegal dilindungi dan pedagang sah dikorbankan, maka ini bukan soal ekonomi, tapi kemanusiaan. Ketika pasar resmi sepi karena dililit sistem liar, itu bukan kegagalan pasar, melainkan sabotase kebijakan oleh aparat.
Sudah saatnya Bupati dan Wakil Bupati terpilih tak hanya bicara penataan, tapi bertindak. Audit menyeluruh harus dilakukan terhadap seluruh praktik jual beli lapak liar di Jalan Sentiong. Semua oknum harus dimintai pertanggungjawaban. Jalan bukan warisan pribadi. Lapak bukan alat eksploitasi rakyat kecil. Jangan sampai rakyat hanya jadi obyek, ketika seharusnya mereka adalah subyek pembangunan.
Dugaan ini tak bisa dilepaskan dari lemahnya kontrol PD Pasar NKR sebagai pengelola resmi. Ketika institusi ini seharusnya menjaga integritas tata kelola pasar, justru muncul tanda tanya besar: kemana arah manajemen dan pengawasan mereka selama ini? Jika pasar formal mati suri tapi lapak liar hidup subur, maka patut diduga ada toleransi diam-diam dari dalam.
Pemerintah Desa Tobat pun tak luput dari sorotan. Dugaan keterlibatan oknum aparat desa dalam membiarkan bahkan memfasilitasi penjualan lapak liar di bahu jalan, adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap mandat publik. Jika betul praktik ini sudah berlangsung tahunan, mustahil desa tidak tahu. Maka bukan hanya tahu diduga turut bermain.
Hal yang sama berlaku untuk Kecamatan Balaraja. Camat dan seluruh aparatur yang berada dalam struktur vertikal wilayah ini punya kewajiban hukum dan moral untuk menertibkan pelanggaran ruang publik. Sayangnya, hingga muncul unjuk rasa, belum terlihat langkah tegas. Dugaan pembiaran dan kelalaian fungsi pengawasan patut diperiksa secara menyeluruh.
Pengawasan jalan sebagai fasilitas umum juga tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab instansi teknis seperti Dinas Perhubungan dan PUPR. Jika trotoar dan bahu jalan dijadikan lapak tanpa ada tindakan, maka yang lalai bukan hanya para pelapak, tapi juga sistem deteksi dan penindakan yang gagal berjalan. Dugaan kelalaian administratif ini harus ditelusur
Hukum akan kehilangan makna jika hanya ditegakkan untuk yang tak berdaya. Pemerintahan akan kehilangan legitimasi jika lebih takut pada suara pungli daripada jerit pedagang. Dan keadilan akan menjadi lelucon jika lapak liar lebih kuat dari pasar resmi. Saatnya bersih-bersih. Bukan demi citra, tapi demi rakyat.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
“Kami membuka pintu bagi para pedagang korban sistem liar dan masyarakat umum yang mengalami kerugian akibat ketidakadilan pelayanan publik. Laporkan, kami akan dampingi secara hukum dan advokasi,” ujar Siarruddin, Kabid Humas DPP YLPK PERARI.
Bagi warga, pedagang, atau siapa pun yang merasa haknya dilanggar, hubungi YLPK PERARI melalui kanal resmi atau datang langsung ke kantor perwakilan terdekat. Jangan biarkan ketidakadilan menjadi kebiasaan. Hukum bukan milik yang kuat, tetapi milik semua yang berani memperjuangkannya.
Kejahatan bukan semata karena ada niat. Ia terjadi karena ada kesempatan dan kesempatan itu muncul ketika pengawasan lemah, pejabat diam, dan rakyat miskin dikorbankan. Dugaan praktik kotor ini tidak terjadi dalam sehari. Ini adalah hasil pembiaran sistemik selama bertahun-tahun, yang menjelma menjadi luka sosial dan kerugian negara yang nyata.
(RED)