Mantv7.id — Di tengah peringatan Hari Lahir Pancasila, sebuah kisah reflektif dari Presiden Soekarno kembali menggema. Kisah ini bukan sekadar cerita sejarah, tetapi menjadi alarm pengingat tentang arti memiliki pegangan hidup berbangsa. Kisah itu terjadi dalam sebuah dialog antara Bung Karno dan sahabatnya, Presiden Yugoslavia, Josef Broz Tito.
Saat itu, Bung Karno bertanya kepada Tito, “Tuan Tito, jika Anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa Anda?” Tito menjawab dengan penuh percaya diri, “Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami.”
Jawaban Tito terasa tegas dan militeristik. Namun, ketika giliran Tito bertanya kepada Bung Karno, “Kalau kamu, sahabatku, bagaimana dengan negaramu?”, Bung Karno menjawab dengan tenang, “Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan bangsaku sebuah way of life, yaitu Pancasila.”
Pancasila bukan sekadar deretan sila yang dihafalkan sejak SD. Ia adalah nafas bangsa. Ia adalah jawaban dari kekhawatiran sejarah: bagaimana menyatukan beragam suku, agama, budaya, dan kepentingan dalam satu tanah air yang dinamakan Indonesia.
Secara geografis dan sosial, Yugoslavia jauh lebih “beruntung” dibandingkan Indonesia wilayahnya tidak terpisah-pisah seperti ribuan pulau Nusantara, dan tidak memiliki keberagaman etnis sekompleks Indonesia. Namun sejarah mencatat: Yugoslavia pecah menjadi tujuh negara. Indonesia tetap satu.
Para sejarawan di Serbia pun menyadari keajaiban ini. Mereka mengakui bahwa Indonesia sebenarnya lebih berpotensi mengalami disintegrasi. Namun, bangsa ini memiliki satu hal yang tidak dimiliki Yugoslavia: Pancasila.
Pancasila menjadi semacam jangkar dan kompas. Bukan alat politik semata, tapi nilai yang hidup dalam keseharian: gotong royong, toleransi, keadilan sosial. Inilah yang mencegah Indonesia karam dalam gelombang konflik yang kerap menimpa negara-negara plural lainnya.
Bung Karno tidak pernah mengklaim menciptakan Pancasila. Ia berkata, “Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”
Di era yang penuh disinformasi dan keterpecahan sosial saat ini, Pancasila perlu lebih dari sekadar diucap tiap 1 Juni. Ia perlu dibumikan dalam kebijakan, ditanamkan dalam pendidikan, dan dihidupkan dalam tindakan.

Foto Ketua Umum YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri), Hefi Irawan, S.H. (Foto: Mantv7)
Ketua Umum YLPK PERARI, Hefi Irawan, SH, turut memberikan pernyataan tegas dan membakar semangat.
“Jangan main-main dengan fondasi bangsa! Pancasila bukan sekadar slogan di baliho, tapi jantung dari keberadaan kita sebagai bangsa! Kalau kita abai, kita sedang menggali kubur kita sendiri. Tapi kalau kita rawat, maka Pancasila akan menjadi mercusuar yang menuntun bangsa ini keluar dari gelapnya zaman. Sudah saatnya kita semua pejabat, rakyat, aktivis, pelajar menghidupi Pancasila, bukan sekadar menghapalnya!”
Sebab, kehilangan uang, bisa dicari esok hari. Tapi kehilangan negeri? Tak terganti. Tak bisa dibeli. Tak bisa dicetak ulang. Napas kita ada di sini. Darah kita tertumpah di sini. Sejarah kita tertulis di sini.
Peringatan Hari Lahir Pancasila ini bukan hanya seremonial. Ia adalah undangan untuk kembali melihat ke dalam diri kita: apakah kita masih menjadikan Pancasila sebagai arah hidup bersama? Ataukah kita sudah mulai membiarkannya redup oleh ego sektoral, politik identitas, dan amnesia sejarah?
Menjaga Pancasila bukan hanya tugas negara. Tapi tugas setiap warga negara. Karena Indonesia tidak dijaga oleh tentara saja, tapi oleh nilai yang tumbuh dalam hati rakyatnya.
Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025.
(OIM)