Mantv7.id | Balaraja — Ruang Terbuka Hijau (RTH) Balaraja kini menjadi potret kelam dari wajah pembangunan Kabupaten Tangerang. Dibangun dengan anggaran miliaran rupiah dari uang rakyat melalui APBD, proyek ini justru mangkrak, tak selesai, dan menyisakan tanda tanya besar: ke mana larinya efisiensi, efektivitas, transparansi, serta akuntabilitas yang selalu digembar-gemborkan para pejabat?
Pantauan lapangan memperlihatkan fakta mencengangkan: kios UMKM rapuh, wastafel menumpuk tak terpasang, rumput sintetis ringkih, tangga rusak, dan pot bunga seperti ditinggal zaman. Bahkan kantor pengelola pun tak layak huni. Bagaimana mungkin proyek bernilai fantastis berujung pada tampilan yang jauh dari harapan?

Kolase foto DED, Layout Gambar, dan KAK. (Foto: Mantv7.id)
Serah terima lahan antara Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) ke Kecamatan Balaraja pun menuai dugaan kejanggalan. Sejumlah sumber menyebut dugaan adanya tekanan untuk segera menandatangani meski kondisi fisik proyek belum siap. Ini menjadi preseden buruk atas lemahnya fungsi pendampingan OPD dan pengawasan atas pelaksanaan program pembangunan daerah.
“Bilaperlu kita demo, ini sudah keterlaluan!” cetus Zarkasih, aktivis lokal. Ia mempertanyakan fungsi kontrol dari Inspektorat dan APIP yang seolah tertidur. Jika fungsi deteksi dini, reviu, dan audit internal berjalan, mustahil ada proyek serap anggaran besar dengan hasil semrawut seperti ini.
Tak hanya DTRB, Bappeda juga harus bertanggung jawab dalam proses perencanaan yang dianggap gagal total. Penumpukan material, fasilitas rusak sebelum digunakan, dan tidak adanya kejelasan teknis terkait sumur bor menunjukkan kinerja sektoral yang asal jadi, jauh dari kata profesional.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
“Anggaran besar tapi hasil seperti taman percobaan murid magang. Ini penghinaan terhadap rakyat,” ujar Buyung, Kabid Humas YLPK PERARI Provinsi Banten. Ia menuntut agar seluruh pihak terkait, dari PPK hingga pelaksana proyek, dipanggil dan diperiksa, termasuk kemungkinan unsur pidana dalam penyalahgunaan wewenang.

Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten. (Foto: Mantv7.id)
Fungsi DPRD Kabupaten Tangerang pun ikut dipertanyakan. Di mana suara para wakil rakyat yang seharusnya mengawal dan mengawasi jalannya pembangunan? Jika DPRD bungkam, maka rakyat akan turun sendiri menyuarakan keadilan atas pajak yang telah mereka setorkan.
Rian, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, menambahkan bahwa proyek RTH Balaraja telah menunjukkan indikasi kuat kegagalan pengawasan dan lemahnya koordinasi antar-SKPD. “Jika ini dibiarkan, maka ke depan semua proyek bisa bernasib sama. Rakyat cuma jadi objek pembodohan,” katanya tegas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi monitoring dan ceklist berkala tidak dilakukan dengan baik. Bahkan standar Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tampaknya diabaikan. Dugaan manipulasi dalam serah terima dan laporan progres pekerjaan harus menjadi atensi aparat penegak hukum.
Kegagalan ini juga mempermalukan sistem pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketika tanggung jawab berantai dari satuan kerja, pejabat pengawas, hingga kepala daerah diabaikan, yang muncul adalah proyek-proyek gagal yang menambah beban rakyat.
Dampaknya nyata: kerugian negara dalam bentuk anggaran sia-sia, fasilitas publik yang tak bisa dinikmati, serta turunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Rakyat bukan hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga secara psikologis karena merasa dikhianati.
Kini sorotan tertuju pada Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Sudah saatnya pembenahan besar-besaran dilakukan. Jangan hanya bicara manis di podium, turunlah ke lapangan, dengarkan suara rakyat, dan bersihkan seluruh proses birokrasi dari aroma busuk yang terus menguar dari proyek RTH ini.
Kritik ini bukan sekadar narasi emosional, tapi panggilan peringatan. Rakyat menagih transparansi, keadilan, dan tanggung jawab. Jika pembangunan hanya jadi arena kompromi politik dan bisnis, maka demokrasi kehilangan jiwanya. RTH Balaraja bisa saja jadi simbol kehancuran sistem jika tak segera ditindak.
Saatnya bertindak sebelum rakyat sepenuhnya kehilangan harapan.
(OIM)