Menu

Dark Mode
Publik Mana yang Terluka? Yang Bayar Pajak dan Masih Percaya Sama Kantor Desa Itu! Jangan Main-main Sama Rakyat Kecil!: Puluhan Ormas Siap Demo Tuntut Penegakan Keadilan di FIF Cikupa Buruh Diperas, Upah Dibayar Murah Tanpa Jaminan Kesehatan, CSR Mandek, Pemkab Cuek, Apa Guna Forum CSR? : Jangan Tunggu Laknat Allah Datang Dulu Baru Kalian Bergerak! Klarifikasi Kades Bojong Loa Soal Main Gapleh: Menjawab atau Justru Menambah Luka Kepercayaan Publik? “Walid Nak Dewi, Boleh?”: Satir Tajam yang Membongkar Wajah Penyimpangan Agama dan Pembunuhan Nalar Umat Dimana Tindak Lanjut Kasus PT Marta Berdikari Nusantara? Banyak yang Bungkam, Buruh Masih Menunggu Keadilan

Daerah

Ketika Seragam Dibalut Doa, Tapi Dosa Tetap Dibiarkan Hidup

badge-check


					Enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST) terjerat dugaan kasus penyalahgunaan narkoba. Namun publik dibuat tercengang, bukan karena beratnya vonis hukum, melainkan oleh kabar bahwa mereka dijatuhi hukuman berupa salat. (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST) terjerat dugaan kasus penyalahgunaan narkoba. Namun publik dibuat tercengang, bukan karena beratnya vonis hukum, melainkan oleh kabar bahwa mereka dijatuhi hukuman berupa salat. (Foto: IST. Mantv7.id)

Mantv7.id – Enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST) terjerat dugaan kasus penyalahgunaan narkoba. Namun publik dibuat tercengang, bukan karena beratnya vonis hukum, melainkan oleh kabar bahwa mereka dijatuhi hukuman berupa salat. Sebuah kabar yang terdengar lebih pantas menjadi cerita satire ketimbang kenyataan yang layak dipercaya. Dilansir dari sejumlah media nasional seperti Kompas.com, Detik.com, dan media arus utama lainnya, Polda Kalimantan Selatan buru-buru memberikan klarifikasi bahwa keenam anggota tersebut telah diproses secara hukum.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa narasi soal “pembinaan spiritual” lebih dulu sampai ke telinga publik ketimbang rincian proses etik dan pidananya secara terang? Aroma pencitraan dalam penanganan kasus ini tercium begitu menyengat, hingga menutupi nalar sehat masyarakat.

Di mana pengawasan internal selama ini? Apakah Propam tidur dalam khusyuknya pengawasan? Dugaan kelalaian itu mencuat ketika enam anggota bisa terjerumus dalam satu lubang yang sama tanpa ada alarm dini dari dalam institusi.

Jika rumah besar bernama Polda tidak mampu menyaring oknum di kandangnya sendiri, lalu siapa yang bisa dipercaya? Di sinilah satuan kerja dan rantai kedisiplinan perlu dibongkar: dari bilik pembinaan, ruang intelijen internal, hingga struktur pengawasan harian yang tampak keropos.

Gambar penjelasan tentang Shalat adalah tiang agama (Islam), artinya shalat merupakan fondasi utama dalam Islam yang menegakkan dan menopang keimanan seorang Muslim. Shalat memiliki kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam Islam. (Foto:IST. Mantv7.id)

Tak cukup hanya membasuh muka dengan klaim transparansi. Pengawasan eksternal seperti Kompolnas dan Ombudsman juga seolah ikut bungkam. Dugaan publik mengarah ke satu kesimpulan: ada hal yang lebih besar dari sekadar kasus personal yakni kerusakan sistemik.

Apakah pengecekan rutin dan kontrol berkala hanya menjadi formalitas dalam laporan tahunan? Jika benar dilakukan, mustahil enam personel dapat menyalahgunakan narkoba tanpa terendus. Ini bukan soal individu, ini tentang sistem yang terlalu longgar dan kadang memilih untuk tutup mata.

Dan kemudian datang “hukuman”: salat. Ya, ibadah yang seharusnya mencerahkan justru didudukkan dalam posisi paling hina sebagai alat bayar kesalahan. Sebuah keputusan yang bukan hanya melecehkan fungsi agama, tapi juga merendahkan nilai spiritual itu sendiri.

Ustad Ahmad Rustam, Kabid Kerohanian DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, mengatakan dengan lantang, “Salat bukan hukuman. Menjadikan ibadah sebagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran hukum adalah pelecehan terhadap nilai agama. Itu bukan pembinaan, itu penghinaan.”

Buyung, aktivis sosial dari Kabupaten Tangerang, menyindir tajam, “Jika seragam bisa membersihkan dosa hanya dengan salat, maka berhentilah kita berjuang lewat hukum. Ganti saja semua vonis dengan sajadah dan air wudu. Simpel, bersih, dan tentu saja absurd.”

Aktivis kerohanian Tb. Bayu Dy juga angkat bicara, “Apa ini bentuk ‘pembersihan spiritual’ atau hanya bungkus manis atas kebusukan struktural? Jika begitu, ibadah telah dijadikan alat tukar integritas yang gagal.”

Kelalaian dalam sistem disiplin seperti ini bisa menjadi racun diam-diam dalam tubuh institusi. Sedikit demi sedikit, kepercayaan publik mengelupas. Dan ketika masyarakat tak lagi percaya kepada penegak hukum, maka kita semua sedang berdiri di ambang kekacauan yang dibenarkan oleh seragam.

Mabes Polri perlu turun tangan. Bukan untuk mendiamkan, melainkan membedah. Kacau-balau ini bukan hanya di Hulu Sungai Tengah, tapi bisa menjalar ke wilayah lain. Ketika dana publik yang bersumber dari keringat rakyat justru membiayai pembinaan palsu, maka itu bukan hanya salah kelola itu pengkhianatan.

Ini bukan sekadar tentang enam orang berseragam yang salah jalan. Ini tentang bagaimana institusi besar merespons sebuah luka. Kalau salat dijadikan hukuman, maka biarlah kita semua bertanya: sejak kapan jalan menuju Tuhan dijadikan tempat menutupi aib manusia?

(OIM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Publik Mana yang Terluka? Yang Bayar Pajak dan Masih Percaya Sama Kantor Desa Itu!

15 July 2025 - 08:13 WIB

Jangan Main-main Sama Rakyat Kecil!: Puluhan Ormas Siap Demo Tuntut Penegakan Keadilan di FIF Cikupa

15 July 2025 - 07:19 WIB

Buruh Diperas, Upah Dibayar Murah Tanpa Jaminan Kesehatan, CSR Mandek, Pemkab Cuek, Apa Guna Forum CSR? : Jangan Tunggu Laknat Allah Datang Dulu Baru Kalian Bergerak!

15 July 2025 - 01:51 WIB

Klarifikasi Kades Bojong Loa Soal Main Gapleh: Menjawab atau Justru Menambah Luka Kepercayaan Publik?

14 July 2025 - 16:12 WIB

“Walid Nak Dewi, Boleh?”: Satir Tajam yang Membongkar Wajah Penyimpangan Agama dan Pembunuhan Nalar Umat

14 July 2025 - 02:48 WIB

Trending on Hukum