Mantv7.id – Kabupaten Tangerang | Pekerjaan pemeliharaan Kantor Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, baru-baru ini menjadi bahan pembicaraan hangat. Bagaimana tidak, dugaan ketidaksesuaian pelaksanaan dengan standar prosedur keselamatan kerja (K3) mencolok mata. Para pekerja terlihat hanya mengenakan celana pendek dan sendal jepit saat mengerjakan proyek bernilai lebih dari Rp160 juta, sebagaimana tercatat dalam aplikasi Sirup LKPP.
Proyek yang seharusnya mencerminkan profesionalisme justru berubah menjadi tontonan yang memprihatinkan. Lokasinya bukan di pelosok kampung, melainkan di jantung pelayanan masyarakat dan pusat administrasi kecamatan. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan dan dugaan mengenai tata kelola, pengawasan, serta etika penyelenggaraan proyek pemerintah di tingkat kecamatan.
Berdasarkan pantauan dan dokumentasi masyarakat, papan proyek hanya sempat terpasang selama satu hari. Dugaan kuat muncul bahwa papan tersebut hanya dipasang demi formalitas dokumentasi, lalu segera dicopot. Padahal, keberadaan papan proyek merupakan bagian dari transparansi publik dan amanat regulasi untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana negara.
Mirisnya, kontraktor yang melaksanakan proyek ini dugaan bukan berasal dari wilayah Tigaraksa, melainkan dari Kota Tangerang. Ini menimbulkan pertanyaan serius soal komitmen pemerintah daerah dalam memberdayakan pelaku usaha lokal. Apakah kontraktor Tigaraksa dinilai tidak kompeten? Jika ya, siapa yang melakukan penilaian dan berdasarkan standar apa?
Minimnya pengawasan dari pihak Kecamatan, Dinas terkait, hingga Inspektorat Kabupaten Tangerang disinyalir menjadi penyebab utama carut-marutnya pelaksanaan proyek ini. Bila setiap pekerjaan dibiarkan dikerjakan asal-asalan tanpa evaluasi teknis lapangan yang benar, maka pemborosan anggaran hanyalah perkara waktu.
Dugaan lemahnya pengawasan turut menyeret nama-nama institusi penting: Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Dinas Perkim, hingga Unit Pengadaan Barang dan Jasa. Semua pihak ini seharusnya bersinergi untuk memastikan bahwa uang rakyat digunakan secara optimal, bukan sekadar dihabiskan agar anggaran terserap.
Tak hanya itu, dugaan pembiaran oleh para pengawas proyek, baik dari konsultan pengawas maupun pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), menambah panjang daftar kekeliruan yang terjadi. Jika pengawasan hanya jadi formalitas dan laporan hanya berupa berkas fiktif, maka jangan heran bila kualitas proyek ibarat kue lapis yang gampang hancur saat disentuh.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan penceramah di Kabupaten Tangerang, angkat suara menanggapi kejadian ini. “Wahai para pelaksana amanah rakyat, ingatlah bahwa setiap rupiah dari APBD akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Jangan khianati amanah umat hanya karena proyek. Jangan sampai kalian mengundang azab atas kelalaian kalian sendiri,” tegasnya dalam tausiyah Jumat lalu.

Foto Buyung, Humas DPD YLPK PERARI dan Siarruddin, DPP YLPK PERARI di kantor Kecamatan Balaraja. (Foto: Mantv7.id)
Siarruddin, Humas DPP YLPK PERARI, juga memberikan kritik keras. Ia menyentil seluruh dinas terkait atas lemahnya sistem pengawasan dan dugaan pembiaran pelanggaran prosedur. “Kalau proyek sebesar ini saja bisa seperti ini, bagaimana proyek-proyek kecil di desa? Jangan sampai rakyat terus dibohongi dengan kemasan proyek, sementara hasilnya nol besar,” ujarnya tajam.
Fenomena ini harus menjadi momentum peringatan keras bagi seluruh pengawas anggaran: DPRD, BPKAD, hingga Inspektorat Kabupaten Tangerang. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan anggaran bersikap transparan dan tanggap, bukan sibuk berkilah dan saling lempar tanggung jawab saat masalah mencuat.
Kepada seluruh elemen masyarakat LSM, ormas, asosiasi profesi, wartawan, dan kontrol sosial lainnya inilah saatnya menunjukkan peran. Negara tidak akan bersih hanya dengan laporan dan rapat. Dibutuhkan keberanian kolektif untuk membongkar praktik-praktik pembodohan publik yang dikemas rapi dengan istilah proyek pembangunan.
Satu pertanyaan reflektif patut direnungkan: bila di pusat pemerintahan kecamatan saja proyek bisa berjalan seperti pasar malam tanpa aturan, bagaimana dengan proyek-proyek di pelosok desa yang jauh dari sorotan publik? Sudah saatnya rakyat membuka mata, bersatu menjaga marwah anggaran, dan menyuarakan kebenaran dengan lantang.
Karena jika semua diam, maka kebodohan akan terus merajalela atas nama pembangunan.
(OIM)