Menu

Dark Mode
Sugani Ditangkap, Perjuangan 6 Bulan YLPK PERARI Berbuah Hasil: Terima Kasih Jajaran Polresta Kabupaten Tangerang Betonisasi Busuk di Kabupaten Tangerang: Dari Bukit Gading ke Vila Balaraja, Proyek Siluman Menari di Atas Pajak Rakyat Silaturahmi Strategis YLPK PERARI dan Dishub Tangkab: Membangun Sinergi demi Kepentingan Masyarakat Rentenir Berkedok Koperasi, Bunga Over Tinggi, Dokumen Pribadi Disandera: Soala Gogo Jadi Teror Baru Warga Sugani Kebal Hukum: Perkosa Anak Bawah Umur, Tak Ditahan, Didampingi Kades, Istrinya Berdalih, Nama Pengacara Dilempar ke Lumpur ANAK PEMILIK KAMPUS TERKENAL JADI PREDATOR: Remaja 15 Tahun Diperkosa Berulang Hingga Hamil, Lalu Bungkam Dengan Uang Melalui Orang Suruhan

Hukum

Lift Khusus, Hukum Terkhusus: Ketika Keadilan Tersesat di Kompi A

badge-check


					Dalam wawancara eksklusif di kanal YouTube Close The Door Deddy Corbuzier (tayang November 2024), Mahfud MD mengungkap praktik-praktik hukum yang dapat dibeli sejak tahap awal penyelidikan hingga vonis. Sistem ini, katanya, tidak hanya merusak keadilan, tapi juga menghancurkan masa depan demokrasi hukum Indonesia. (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Dalam wawancara eksklusif di kanal YouTube Close The Door Deddy Corbuzier (tayang November 2024), Mahfud MD mengungkap praktik-praktik hukum yang dapat dibeli sejak tahap awal penyelidikan hingga vonis. Sistem ini, katanya, tidak hanya merusak keadilan, tapi juga menghancurkan masa depan demokrasi hukum Indonesia. (Foto: IST. Mantv7.id)

Mantv7.id  – Siapa sangka, sebuah lift dapat menjadi simbol paling ironis dalam potret keadilan negeri ini? Ketika Prof. Dr. Mahfud MD tokoh hukum nasional sekaligus mantan Menko Polhukam membongkar keberadaan “Kompi A”, yakni lift khusus yang mengarah langsung ke ruang pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), publik dibuat terperangah. Bagaimana mungkin akses keadilan bisa dijangkau melalui jalur eksklusif yang justru melangkahi prosedur resmi?

Apa jadinya jika pengadilan berubah menjadi ruang transaksional, bukan arena tegaknya hukum? Dalam monolognya, Mahfud menyebut istilah yang menohok: “hukum seperti toko kelontong.” Satire tajam ini menggambarkan bahwa keadilan kini bisa dinegosiasikan, tidak lagi diperjuangkan. Di tengah suara rakyat yang makin serak, hukum justru melayani para pembeli perkara.

Dimana negara ketika ijon perkara yakni pengaturan kasus sejak dini oleh mafia peradilan telah menjadi rahasia umum? Dalam wawancara eksklusif di kanal YouTube Close The Door Deddy Corbuzier (tayang November 2024), Mahfud MD mengungkap praktik-praktik hukum yang dapat dibeli sejak tahap awal penyelidikan hingga vonis. Sistem ini, katanya, tidak hanya merusak keadilan, tapi juga menghancurkan masa depan demokrasi hukum Indonesia.

Mengapa lembaga penegak hukum tak lagi takut kepada pasal-pasal yang mengikat? UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 3 dan 5, dengan tegas melarang penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Tapi jika hukum bisa dinegosiasikan, apa artinya kitab undang-undang?

Kapan para aktor keadilan akan berhenti menjadi pelayan para makelar kasus? Mahfud mengangkat kasus Zarof Ricar, mantan pejabat MA, yang ditemukan menyimpan hampir Rp1 triliun uang tunai dan emas batangan di rumahnya. Uang itu diduga berasal dari praktik makelar perkara. Anehnya, MA justru terkesan enggan menindaklanjuti secara serius. Apakah karena takut jaringannya terbongkar?

Bagaimana mungkin sebuah lift bisa menjadi gerbang menuju pengaturan vonis? Mahfud menyebut bahwa lift “Kompi A” ini menjadi jalur khusus yang digunakan oleh pihak yang sudah memiliki “janji” dengan petinggi MA. Praktik ini disebutnya dengan istilah “cincai” urusan selesai secara informal. Inikah wajah keadilan yang dibanggakan?

Foto Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)

Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin, menanggapi tajam temuan ini. “Kalau lift khusus bisa jadi jalur bypass hukum, lalu untuk apa rakyat antre keadilan lewat prosedur? Ini bukan sekadar dugaan pelanggaran, ini pelecehan terhadap hukum. Negara jangan pura-pura tuli.

Jika Mahkamah Agung tidak segera bersih-bersih, maka publik punya hak untuk curiga: siapa sebenarnya yang mereka layani?” ujarnya lugas. Ia menekankan bahwa YLPK PERARI siap mendorong langkah hukum maupun sosial untuk membongkar tuntas praktik mafia peradilan.

Dimana Komisi Yudisial, Ombudsman, dan Badan Pengawas MA ketika sistem peradilan diacak-acak dari dalam? Bukankah fungsi pengawasan melekat pada mereka? Jika hari ini publik tahu bahwa “Kompi A” eksis, apakah lembaga pengawas benar-benar tidak tahu atau justru memilih tidak tahu?

Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, KPK ini bukan sekadar kritik biasa. Ini adalah tanda bahaya. Rakyat tak lagi punya keyakinan pada lembaga penegak hukum jika semua jalur formal bisa ditekuk oleh segepok rupiah. Ketika hukum tak lagi jadi pelindung, maka kepercayaan publik runtuh bukan karena serangan luar, tapi pengkhianatan dari dalam.

UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN mewajibkan semua penyelenggara negara menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan integritas. Tapi dalam praktiknya, suara rakyat lebih sering disensor daripada diproses. Maka wajarlah jika kepercayaan publik tak tumbuh dari teks undang-undang, melainkan dari integritas pelaksanaannya.

 

Ustaz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang, turut menyuarakan keprihatinannya. “Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan, bukan tuan atas rakyat. Siapa yang menjual keadilan demi dunia, maka dia telah mengkhianati amanah Allah. Jika hukum dijadikan komoditas, maka kita sedang mengundang azab kolektif. Hukum adalah amanah suci, bukan ruang dagang,” ujarnya tegas.

Gambar Mahfud MD: Hukum bak toko klontong, Anda mau beli apa? (Foto. IST. Mantv7.id)

Badan Pengawas MA dan Inspektorat Jenderal Kemenkumham, ini saatnya bersih-bersih. Jika “Kompi A” bukan sekadar mitos, lalu apa tindak lanjutnya? Atau memang hanya rakyat jelata yang harus patuh pada prosedur, sementara elit menikmati jalur eksklusif di lantai-lantai sunyi Mahkamah?

Masyarakat kecil di pelosok yang saban hari terjebak dalam konflik tanah, kriminalisasi warisan, hingga sengketa perdata recehan tak pernah tahu apa itu “Kompi A”. Mereka hanya tahu bahwa keadilan itu lambat, mahal, dan seringkali mustahil. Padahal dalam konstitusi, keadilan adalah hak, bukan privilege.

Ironisnya, negara begitu cepat membungkam pengkritik, tapi begitu lambat mengadili pelaku nyata. Mahfud MD tidak sedang mendongeng. Ia bicara berdasar pengalaman dan pengamatan. Bila ini pun tak dianggap sebagai peringatan, maka kita sedang berjalan menuju negara yang tidak hanya gagal hukum, tapi gagal nurani.

Ini bukan upaya menjatuhkan lembaga. Ini upaya menyelamatkan kepercayaannya. Jika kita terus memelihara kebusukan sistem demi stabilitas semu, maka kita sedang mengantar generasi mendatang pada pusaran ketidakadilan permanen.

Apakah harus ada revolusi sosial untuk mengembalikan harga keadilan? Jangan tunggu hingga “Kompi A” runtuh oleh murka rakyat. Karena yang akan ikut ambruk bukan hanya gedung pengadilan, tapi seluruh pilar konstitusi bangsa.

(OIM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Rentenir Berkedok Koperasi, Bunga Over Tinggi, Dokumen Pribadi Disandera: Soala Gogo Jadi Teror Baru Warga

17 June 2025 - 09:52 WIB

Sugani Kebal Hukum: Perkosa Anak Bawah Umur, Tak Ditahan, Didampingi Kades, Istrinya Berdalih, Nama Pengacara Dilempar ke Lumpur

17 June 2025 - 06:35 WIB

ANAK PEMILIK KAMPUS TERKENAL JADI PREDATOR: Remaja 15 Tahun Diperkosa Berulang Hingga Hamil, Lalu Bungkam Dengan Uang Melalui Orang Suruhan

16 June 2025 - 14:37 WIB

Senyum Ustad Tak Lagi Terbuka, Tangis Anak Tak Lagi Didengar: Ke Mana Sugani, Si Pemerkosa Itu?

16 June 2025 - 09:43 WIB

Warga Dipalak Dalih Proyek APBD, Wartawan Diblokir, Pejabat Bungkam: Perkim Kabupaten Tangerang Kangkangi Tupoksi

16 June 2025 - 07:46 WIB

Trending on Daerah