Mantv7.id – Tangerang | Fly over Balaraja dan Jalan Baru Sentiong kembali menyita perhatian publik. Tumpukan sampah yang menggunung di sisi kiri-kanan jalan tidak hanya menodai estetika, tetapi juga menginjak-injak kesadaran sosial dan religius warga Balaraja. Ironisnya, kebersihan yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, justru kini dipertontonkan sebagai kemunduran. Lantas, siapa yang bertanggung jawab?
Persoalan ini bukan baru, tapi berulang. Dugaan pungutan retribusi yang tak sebanding dengan pengelolaan sampah kembali mencuat. Sejumlah warga mengaku tetap dimintai biaya kebersihan, namun fasilitas pengangkutan dan pembuangan layak nyaris tak terlihat. Apakah ini bentuk pelayanan atau modus penghisapan uang rakyat secara sistematis?

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, juga Ketua Kerohanian DPD YLPK PERSRI Banten, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
“Kalau sampah saja tak bisa diurus, bagaimana bisa bicara pembangunan?” tanya Ustad Ahmad Rustam, aktivis sosial dan anggota DPD YLPK Perari Provinsi Banten. Ia menegaskan bahwa memungut tanpa tanggung jawab adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. YLPK Perari mendesak pemerintah bersikap profesional dan tegas, bukan sekadar melempar janji klise.
Jalan Baru arah Pasar Sentiong tak jauh beda. Tumpukan sampah tak terangkut berminggu-minggu, menimbulkan bau menyengat dan genangan air yang berbahaya. Seorang pengendara bahkan dilaporkan terjatuh akibat tergenang limbah yang tersumbat. Apakah harus ada korban lebih dulu agar pemerintah benar-benar bekerja?
Respons Kepala UPT 2 DLHK Balaraja, Fajar, hanya normatif. “Kemarin sudah dibersihkan, nanti ditindaklanjuti lagi,” ujarnya saat dikonfirmasi. Pernyataan ini seolah menggambarkan pola kerja reaktif, bukan preventif. Pemerintah bertindak setelah viral, bukan berdasarkan kewajiban. Maka, apakah media sosial kini menjadi manajer kebersihan?
Saling lempar tanggung jawab antara desa, kecamatan, dan dinas kebersihan makin memperburuk keadaan. Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, menyebut hal ini sebagai cerminan buruk birokrasi yang tidak berfungsi. “Warga bayar, tapi sampah tetap menumpuk. Ini bukan retribusi, tapi pungli terselubung,” ucapnya dengan nada kecewa.
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menegaskan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pengelolaan sampah secara terpadu dan berkelanjutan. Jika tidak dilakukan, maka aparat bisa dikenai sanksi administrasi dan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan 41. Ini bukan urusan teknis, melainkan pelanggaran hukum.
Surat edaran dan surat penunjukan pengawasan kebersihan fly over Balaraja pun patut dicurigai. Jika sudah ada penugasan resmi, mengapa tidak berjalan? Apakah hanya sekadar formalitas surat menyurat demi anggaran yang tetap mengalir? Camat dan Kades Tobat, harap jangan berlindung di balik meja, rakyat menuntut jawaban.
Pol PP sebagai penegak aturan daerah pun patut disorot. Ke mana pengawasan saat titik pembuangan liar muncul? Apakah fungsi pengawasan hanya aktif saat apel pagi dan lenyap saat sore menjelang? Jika pengawasan hanya berlangsung setengah hari, maka wajar bila Balaraja berubah menjadi tempat pembuangan massal.
Penelusuran lapangan menunjukkan bahwa tumpukan sampah tersebar bukan hanya di fly over, tetapi di banyak titik permukiman dan pasar. Kondisi ini memperlihatkan sistem pengelolaan yang gagal. Bahkan tempat yang membayar pun terbengkalai, lalu bagaimana dengan yang tidak?
QS Al-Baqarah ayat 188 mengingatkan, “Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” Mengutip ayat ini, Ustad Ahmad Rustam mengingatkan bahwa memungut tanpa pelayanan adalah bentuk batil yang dibungkus legalitas semu. Dalam syariat, ini tergolong ghulul, dosa berat penggelapan amanah.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK Perari secara resmi meminta evaluasi menyeluruh terhadap DLHK dan seluruh pemangku kebijakan di Kecamatan Balaraja. Reformasi sistem kebersihan harus disegerakan, bukan ditunda dengan dalih teknis. Jika tidak sanggup, maka pengunduran diri adalah sikap ksatria, bukan kelemahan.
Kebersihan bukan hanya urusan petugas, tapi juga cerminan iman dan kepemimpinan. Balaraja adalah tanah ulama dan santri, bukan tempat untuk menimbun kotoran dan menguapkan amanah. Bila pengelolaan sampah saja gagal, lalu apa arti visi pembangunan?
Sudah waktunya pemimpin di Balaraja bercermin pada tumpukan sampah yang mereka abaikan karena di situlah wajah mereka sebenarnya.
(OIM)