Menu

Dark Mode
Bupati dan Wabup Sibuk Hadiri Acara, Sementara Proyek Beton Amburadul di Kabupaten Tangerang RUU KUHAP Disepakati Tambahkan Pasal Impunitas Advokat, DPR Tegaskan Lindungi Pembela Hukum Klontongan Hukum dan Buzzer Keadilan: Ketika Negara Dibisniskan Lewat Opini Palsu Petani di Pringsewu Dikeroyok di Jalan Umum, Kuasa Hukum Desak Polisi Tangkap Pelaku Sugani Ditangkap, Perjuangan 6 Bulan YLPK PERARI Berbuah Hasil: Terima Kasih Jajaran Polresta Kabupaten Tangerang Betonisasi Busuk di Kabupaten Tangerang: Dari Bukit Gading ke Vila Balaraja, Proyek Siluman Menari di Atas Pajak Rakyat

News

Surat Edaran MA: Larangan Hedonisme Hakim dan Realita Abu-abu Peradilan Kita

badge-check


					Gambar Gedung MA (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Gambar Gedung MA (Foto: IST. Mantv7.id)

Mantv7.id – Kabupaten Tangerang | Rilisan media detikNews pada Kamis, 22 Mei 2025 pukul 13.16 WIB mengabarkan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) kembali menerbitkan surat edaran yang mengatur pola hidup aparatur peradilan. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 ini secara eksplisit memerintahkan jajaran peradilan untuk menjalani hidup sederhana serta menjauhi tempat-tempat seperti diskotek, kasino, hingga klub malam.

Sekilas, kebijakan ini tampak sebagai langkah mulia dalam menjaga marwah lembaga peradilan. Namun publik, khususnya di Kabupaten Tangerang, justru mengernyitkan dahi. Pertanyaan muncul: apakah ini merupakan akar persoalan utama lembaga peradilan, atau justru bentuk kamuflase agar wajah institusi terlihat bersih, meski luka sistemiknya belum disembuhkan?

Surat edaran yang ditandatangani Dirjen Badilum, Bambang Myanto, mencantumkan 11 poin moralitas yang mengatur perilaku aparatur. Mulai dari larangan pamer kekayaan di media sosial hingga pembatasan acara pribadi di lingkungan kantor semuanya tampak ideal di atas kertas.

Namun masyarakat bertanya: bagaimana bisa menuntut kesederhanaan ketika ketidakadilan masih ditemukan dalam ruang sidang, dan beberapa putusan justru menyisakan luka sosial? Apakah larangan memamerkan barang mewah cukup untuk menambal kebocoran integritas sistemik?

Dalam sejumlah kasus, publik menilai bahwa gaya hidup hanya bagian kecil dari persoalan besar dalam dunia peradilan. Dugaan suap, mafia perkara, dan keputusan kontroversial yang dinilai berpihak pada pemilik modal masih menjadi isu yang belum tersentuh oleh surat edaran ini.

Bahkan dalam beberapa perkara tanah dan perdata yang mencuat di wilayah Kabupaten Tangerang, masyarakat mencurigai bahwa keadilan bisa dipengaruhi uang, sementara kebenaran berjalan tertatih oleh prosedur hukum yang kaku.

Aktivis sosial Kabupaten Tangerang, Buyung, menanggapi surat edaran ini dengan nada sinis. Menurutnya, “Ini semacam bedak untuk menutupi borok. Yang dibutuhkan bukan sekadar larangan ke diskotek, tapi keberanian membongkar mafia perkara dan menindak tegas hakim-hakim yang memperjualbelikan putusan. Kalau cuma larang pamer jam tangan mewah, itu tidak menyelesaikan apa-apa,” ujarnya.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)

Dalam pernyataannya, mereka meminta Mahkamah Agung tidak berhenti pada citra moral semata, namun menunjukkan profesionalitas dan ketegasan dalam pembenahan internal. “Kami mendesak pengawasan terbuka dan audit menyeluruh terhadap harta kekayaan aparatur peradilan, bukan hanya menyuruh mereka menghindari klub malam,” ujar Humas DPD YLPK Perari, Aminnuddin.

Pernyataan ini disampaikan menyusul banyaknya laporan masyarakat ke YLPK Perari Banten yang menyoroti dugaan permainan perkara di pengadilan tingkat bawah. Dalam aspek hukum, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim wajib menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku yang sesuai sebagai aparat penegak hukum. Pasal 17 ayat (2) menyebutkan, hakim dilarang menerima hadiah dari pihak yang berperkara.

Jika dilanggar, dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 5 dan 6, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

Sayangnya, publik menilai penerapan aturan ini masih jauh dari harapan. Dugaan suap yang sulit dibuktikan dan kecenderungan saling melindungi antaraparatur menjadikan pengawasan internal tak efektif. Kode etik hanya menjadi hiasan, sementara mafia peradilan tetap bekerja dalam senyap memoles wajahnya dengan surat edaran moralitas.

Ironisnya, surat edaran juga memuat larangan menerima hadiah dari tamu kedinasan. Namun praktik “amplop ucapan terima kasih” masih menjadi budaya yang sulit dihapuskan. Ini menegaskan bahwa moral bukan sekadar peraturan tertulis, melainkan hasil dari sistem yang sehat dan keteladanan nyata. Sayangnya, teladan itu masih langka di ruang sidang.

Ketika surat edaran melarang pencitraan mewah di media sosial, publik justru melihat sebagian oknum tampil di pesta elite dengan gaya hidup kontras. Maka wajar jika surat edaran ini dianggap sebagai “filter Instagram” yang hanya memoles, bukan membersihkan.

Jika Mahkamah Agung serius menjaga marwah institusi, maka selain menertibkan gaya hidup, harus ada penguatan sistem etik dan transparansi internal. Reformasi menyeluruh dalam pengawasan, pelaporan kekayaan secara berkala, serta pembentukan unit pengaduan independen menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa itu, larangan ke diskotek hanya akan menjadi daftar panjang edaran yang tak berdampak.

Poin-poin larangan dalam surat ini pun tidak menyentuh akar persoalan: relasi kuasa, kooptasi elit, dan pelembagaan budaya kompromi di dalam sistem peradilan. Ketika lembaga tinggi hanya fokus pada estetika moral, mereka sedang meninggalkan substansi keadilan yang lebih luas. Lembaga peradilan tidak butuh dekorasi moral, tapi pembongkaran fondasi korup.

Sebagai media yang peduli terhadap marwah hukum dan keadilan sosial, kami mendesak agar Dirjen Badilum dan Mahkamah Agung tidak berhenti pada surat edaran, tapi juga berani menyentuh ranah investigatif terhadap perilaku menyimpang aparatur, serta mempublikasikan hasil pengawasan kepada masyarakat. Publik butuh transparansi, bukan retorika kesederhanaan.

Pada akhirnya, integritas tak lahir dari larangan simbolik, melainkan dari budaya kejujuran dan sistem yang adil. Surat edaran ini mungkin bisa menahan jemari untuk tidak memposting foto tas mewah, tapi belum tentu cukup untuk menahan rakusnya kekuasaan yang dijalankan tanpa kontrol.

Semoga surat edaran ini bukan hanya tulisan di atas kertas, tapi menjadi langkah awal pembersihan nyata di tubuh peradilan Indonesia.

(OIM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

RUU KUHAP Disepakati Tambahkan Pasal Impunitas Advokat, DPR Tegaskan Lindungi Pembela Hukum

19 June 2025 - 08:33 WIB

Klontongan Hukum dan Buzzer Keadilan: Ketika Negara Dibisniskan Lewat Opini Palsu

19 June 2025 - 00:57 WIB

Silaturahmi Strategis YLPK PERARI dan Dishub Tangkab: Membangun Sinergi demi Kepentingan Masyarakat

18 June 2025 - 09:40 WIB

ANAK PEMILIK KAMPUS TERKENAL JADI PREDATOR: Remaja 15 Tahun Diperkosa Berulang Hingga Hamil, Lalu Bungkam Dengan Uang Melalui Orang Suruhan

16 June 2025 - 14:37 WIB

PEMPROV BANTEN DAN DPRD PROVINSI BANTEN DIMINTA BANGUN 1 SMA NEGERI DI WILAYAH SOLEAR

15 June 2025 - 14:52 WIB

Trending on Daerah