Mantv7.id – Gunung Kaler | Dugaan penghamburan anggaran di Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Banten, kembali mencuat dan memunculkan pertanyaan tajam: untuk siapa uang rakyat dikucurkan? Data yang tercantum dalam laman SIRUP LKPP mengungkap dua anggaran janggal untuk tahun 2025, yaitu belanja sewa tempat peristirahatan sebesar Rp15 juta dan perjalanan dinas luar kota sebesar Rp140,4 juta, keduanya untuk “peningkatan efektivitas pemberdayaan masyarakat”. Ironisnya, masyarakat yang seharusnya diberdayakan justru hidup dalam penderitaan.

Foto Samsul, anggota LSM LMPI Kresek, bersama istri dan putri semata wayangnya, telah bertahun-tahun tinggal di rumah reyot penuh lubang. (Foto: Mantv7.id)
Samsul, anggota LSM LMPI Kresek, bersama istri dan putri semata wayangnya, telah bertahun-tahun tinggal di rumah reyot penuh lubang. Saat malam tiba, dingin menggigit dan atap tak mampu melindungi. Tidak ada sewa bungalow, tidak ada perjalanan dinas. Hanya ada derita dan air mata. Lalu siapa yang mereka sebut “masyarakat” dalam nomenklatur anggaran itu?
Pemerintah Kecamatan Gunung Kaler wajib menjelaskan kepada publik siapa yang menggunakan fasilitas penginapan dan perjalanan mewah itu. Untuk apa dana puluhan juta digunakan, sementara rakyat seperti Samsul hanya bisa menggigil dalam kribik lapuk? Di mana fungsi sosial anggaran publik yang bersumber dari APBD?
Dugaan penyimpangan anggaran ini seharusnya menjadi perhatian serius Inspektorat Kabupaten, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD), serta Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD). Kapan mereka turun? Kenapa mereka diam? Apakah mereka buta atau pura-pura tidak melihat?
Perlu diingat, setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah daerah wajib transparan dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 3 dan 4 UU 17/2003 menegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab.
Tidak hanya kecamatan yang patut disorot, kepala desa, lurah, hingga camat dan pengawas internal seharusnya tidak hanya jadi simbol seremonial. Jika benar ada dugaan penggelembungan atau penggunaan fiktif, maka aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK tidak bisa tinggal diam. Kapan tindakan nyata akan hadir?
Ustad Ahmad Rustam, Kepala Keagamaan YLPK Perari DPD Banten, menyampaikan keprihatinan mendalam. “Jika benar terdapat dugaan penyalahgunaan dana APBD untuk kegiatan yang tidak berdampak langsung ke masyarakat, maka itu adalah bentuk kedzaliman administratif. Berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dapat dipidana penjara seumur hidup atau minimal 1 tahun, maksimal 20 tahun.”.
Ia menambahkan bahwa asas keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 telah dicederai. “Ini bukan soal angka, ini soal rasa keadilan publik yang diinjak-injak oleh aparatur yang seharusnya melayani, bukan menikmati,” ucapnya lantang dalam forum terbuka YLPK Perari Banten.

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
MANtv7.id menelusuri lebih dalam dan menemukan fakta bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat seharusnya bersentuhan langsung dengan kondisi warga. Namun kenyataannya, program-program seperti pembangunan rumah tidak layak huni, pelatihan keterampilan, dan bantuan langsung tunai malah nihil jejak. Lalu, untuk siapa perjalanan dinas dan penginapan itu?
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang yang baru dilantik wajib menanggapi hal ini. Publik menunggu langkah nyata, bukan hanya sekadar narasi di podium. Jika pemimpin hanya berdiri untuk pidato, maka rakyat akan memilih untuk berteriak dari jalanan.
Rasa iba terhadap keluarga seperti Samsul sudah tak cukup. Negara tidak dibangun di atas kata iba, melainkan di atas keadilan. Sementara dana dikucurkan untuk kemewahan perjalanan, rakyat masih menadah genting saat hujan datang. Tidakkah itu bentuk pengkhianatan terhadap amanah?
Satire ini adalah kenyataan. Di negeri ini, rakyat miskin justru hanya dijadikan alasan dalam proposal anggaran. Mereka tak pernah menikmati hasilnya. Mereka hanya dijadikan data statistik, alat legitimasi kegiatan, tapi tak pernah dilibatkan dalam pelaksanaannya.
Jika dugaan ini terbukti, maka bukan hanya sanksi administratif yang harus dijatuhkan, tapi juga sanksi pidana. Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik pun dapat dikenakan jika ditemukan unsur kesengajaan dan penindasan hak warga.
Masyarakat perlu bangkit. Lembaga swadaya masyarakat, media, dan tokoh-tokoh sipil harus bersatu untuk menolak segala bentuk manipulasi anggaran atas nama “pemberdayaan”. Tanpa suara rakyat, korupsi akan terus berpesta di atas puing-puing kemiskinan.
Kritik ini adalah bentuk cinta, cinta pada bangsa yang adil, cinta pada rakyat yang jujur. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas: bertindaklah. Karena diam adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Jangan biarkan rakyat hanya hidup dari sisa-sisa janji dan kebohongan.
(OIM)