Mantv7.id – Tersiar dugaan bahwa sejumlah perusahaan, baik BUMN, BUMD, perbankan, pembiayaan, maupun pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP), belum secara transparan menjalankan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR). Padahal, CSR bukan sekadar kebijakan sukarela, melainkan tanggung jawab hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Masyarakat pun mulai mempertanyakan, siapa yang mengawasi? Mengapa laporan CSR tak kunjung terbuka ke publik? Dan kapan lembaga-lembaga terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Sosial, Dinas Penanaman Modal, serta DPRD akan turun tangan mengaudit fakta di lapangan?
Dalam hal ini, Ketua Umum YLPK PERARI, Hefi Irawan, SH, menegaskan bahwa kewajiban CSR bukanlah bentuk kemurahan hati perusahaan, melainkan bentuk konkret dari tanggung jawab sosial yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15 huruf (b), serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 68.
“Jangan lagi ada pembiaran terhadap perusahaan yang diduga abai atau tidak transparan terhadap program CSR-nya. Setiap tahunnya harus ada laporan resmi yang bisa diakses publik, termasuk masyarakat sekitar sebagai penerima manfaat langsung,” ujar Hefi dengan nada tegas.

Kolase foto warga Kabupaten Tangerang yang masih jauh dari kata layak dalam kehidupan. (Foto: IST. Mantv7.id)
Ironisnya, dugaan ketertutupan perusahaan dalam pelaporan CSR kontras dengan kondisi masyarakat di sekitar kawasan industri. Data BPS menunjukkan, angka kemiskinan di beberapa wilayah industri seperti Kabupaten Tangerang masih berada di angka 5,83% pada 2023 dan hanya turun menjadi 5,72% pada 2024 penurunan yang stagnan dan tidak mencerminkan keberadaan CSR yang tepat guna.
Fakta tersebut menunjukkan indikasi bahwa CSR yang dijalankan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara nyata. Di mana fungsi pengawasan Dinas Sosial? Di mana keterlibatan aktif DPRD dalam monitoring anggaran CSR? Mengapa Dinas Penanaman Modal diam? Dan apa peran Kementerian Lingkungan Hidup dalam hal pengawasan keberlanjutan lingkungan akibat aktivitas perusahaan?

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Hefi Irawan mengimbau agar Pimpinan DPR RI segera menyurati seluruh perusahaan di provinsi, kabupaten, dan kota untuk meminta laporan implementasi CSR. Ia menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya melindungi hak-hak masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami mendesak adanya FGD (Focus Group Discussion) antara masyarakat dan perusahaan sebelum penyusunan program CSR. Ini bukan usulan, tapi konsekuensi moral dan hukum. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 jelas menyatakan bahwa tanggung jawab sosial adalah bagian dari rencana kerja tahunan perseroan yang harus mendapatkan persetujuan RUPS,” tambah Hefi.
Salah satu warga dari Bogor, H Parlindungan, mengungkapkan bahwa idealnya program CSR harus dilandasi kesepakatan tertulis antara masyarakat dan perusahaan. “Tujuannya agar tidak ada dusta dalam implementasi, dan setiap sen dari dana CSR menjadi nyata manfaatnya,” kata Opung Parlan.
Sayangnya, fakta di lapangan justru menggambarkan sebaliknya. Dugaan kuat muncul bahwa banyak perusahaan menyusun program CSR tanpa konsultasi atau verifikasi kebutuhan riil masyarakat. Dalam hal ini, Hefi menyebutkan bahwa tindakan tersebut melanggar semangat UUD 1945 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, hingga KPK patut mencermati dugaan pengabaian CSR ini. Tidak hanya dalam konteks kerugian sosial, tetapi juga kemungkinan adanya unsur pidana jika terdapat indikasi penyelewengan anggaran CSR atau manipulasi laporan tahunan.
Semua pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga kementerian terkait, tidak boleh lagi berlindung di balik alasan administratif. Saatnya publik tahu dan perusahaan diminta transparan: Berapa total dana CSR yang disalurkan? Kepada siapa? Untuk program apa? Dan apa dampaknya terhadap indeks kesejahteraan masyarakat sekitar?
Sebagai penutup, YLPK PERARI menyerukan agar paradigma CSR tidak lagi dipandang sebagai kewajiban administratif semata, melainkan sebagai amanah konstitusional. “CSR adalah bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada lingkungan sosialnya. Jika diabaikan, maka negara wajib hadir untuk menegakkan keadilan,” pungkas Hefi Irawan.
(OIM)