Mantv7.id – Di tengah pesatnya perkembangan industri di Kabupaten Tangerang, dengan lebih dari 90.000 pabrik yang beroperasi, angka kemiskinan justru mengalami peningkatan dua tahun berturut-turut. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di 2023 tercatat 6,92%, dan sedikit meningkat menjadi 6,93% pada 2024. Kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran adanya ketidakseriusan dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Pertanyaan besar pun muncul: ke mana sesungguhnya alokasi dana CSR dari ribuan pabrik tersebut? Dugaan bahwa CSR seringkali hanya menjadi formalitas tanpa memberikan dampak nyata semakin menguat. Pada sebuah forum resmi, Forum CSR Kabupaten Tangerang memilih tidak memberikan penjelasan yang memadai, menambah kecurigaan publik terhadap minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana CSR.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di wilayah Balaraja terdapat lebih dari 250 pabrik aktif. Namun sangat sedikit program pemberdayaan masyarakat yang dapat dirasakan manfaatnya. Dugaan adanya kelalaian atau bahkan kongkalikong di tingkat pemerintahan, dari camat hingga kepala desa, memperburuk citra pelaksanaan CSR yang belum maksimal sebagai alat strategis untuk pembangunan sosial.
Padahal, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74 dengan jelas mengatur bahwa setiap perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Kewajiban ini diperkuat dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012, yang menegaskan bahwa CSR bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh perusahaan.

Kolase foto warga yang kekurangan Ekonomi dam rumah tidak layak huni. (Foto: IST. Mantv.id)
Ketiadaan program CSR yang memberi dampak langsung bagi masyarakat bisa dikategorikan sebagai kelalaian terhadap kewajiban hukum, dan apabila terdapat indikasi penyalahgunaan dana CSR, hal ini bisa berpotensi melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, maupun KPK, perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap kemungkinan adanya penyimpangan dalam pengelolaan CSR ini.
Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Pasal 5 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penanganan fakir miskin secara terencana dan berkelanjutan. Jika CSR tidak dimanfaatkan secara maksimal, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah juga gagal dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Laporan dari media lokal, LSM, dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa program CSR yang ada cenderung bersifat sementara, seperti pemberian sembako tahunan, tanpa ada inisiatif jangka panjang seperti pelatihan keterampilan, beasiswa pendidikan, atau dukungan untuk usaha mikro. Jika dugaan ini benar, maka CSR hanya berfungsi sebagai alat pencitraan tanpa memberikan manfaat substansial bagi masyarakat miskin.
Dengan lebih dari 250 pabrik di Balaraja, yang seharusnya memiliki alokasi dana CSR yang cukup besar, Kabupaten Tangerang masih mencatatkan lebih dari 276 ribu jiwa penduduk miskin menurut data BPS 2023. Seharusnya dengan pemanfaatan dana CSR yang optimal, wilayah ini dapat keluar dari krisis sosial dan ekonomi, serta menjadi contoh bagi daerah lain dalam pembangunan berbasis industri yang inklusif.

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, Ketua Keagamaan YLPK PERARI DPD Banten, menyatakan tegas, “Barang siapa yang diberikan amanah lalu menyia-nyiakan hak rakyat kecil, maka Rasulullah bersabda: ‘Tidak termasuk golonganku orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan’ (HR. Bukhari).
Allah berfirman dalam QS. Al-Ma’un: ‘Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.’”
Beliau menambahkan bahwa perilaku acuh terhadap CSR adalah bentuk kemunafikan sosial dan pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan.
Masyarakat juga mempertanyakan ke mana suara DPRD Kabupaten Tangerang sebagai lembaga pengawasan? Dugaan kelalaian lembaga legislatif dalam mengawasi praktik CSR perusahaan di daerah ini perlu diselidiki. Minimnya laporan terbuka dari komisi-komisi DPRD menunjukkan potensi pembiaran sistemik yang tidak bisa dibiarkan.
Kemiskinan bukan sekadar angka statistik, tetapi merupakan penderitaan nyata yang dialami masyarakat. Ketika lembaga negara dan korporasi gagal menjalankan tanggung jawab mereka, maka yang terjadi adalah luka sosial yang mendalam. CSR seharusnya menjadi jembatan antara kekuatan ekonomi dan keadilan sosial, bukan sekadar dokumen pelengkap laporan tahunan perusahaan.
Jika pembiaran ini terus dibiarkan, maka publik berhak untuk menggugat. Undang-undang memberikan ruang untuk class action dan audit publik terhadap perusahaan yang mengabaikan kewajiban CSR-nya. YLPK PERARI, LSM, media lokal, dan organisasi masyarakat perlu bergandengan tangan untuk mendesak perubahan tata kelola CSR yang lebih transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat lemah.
Penanganan kemiskinan adalah amanat konstitusi dan tanggung jawab bersama. CSR bukanlah sekadar sedekah, melainkan kewajiban hukum dan moral. Jika para pemangku kepentingan di birokrasi dan industri tetap membisu, maka saatnya rakyat berbicara.
Sudah waktunya Kabupaten Tangerang keluar dari paradoks: kaya pabrik, tetapi miskin rakyat. Rakyat berhak hidup layak dan sejahtera di tanah kelahirannya sendiri.
(OIM)