MANtv7 – Potret memilukan seorang janda tua, Ibu Ami, yang hidup bersama dua anak disabilitas mental di bilik reyot Kampung Sondol, RT 10 RW 03, Desa Kemuning, Kecamatan Kresek, mencuat sebagai tamparan keras terhadap kinerja dan sensitivitas sosial aparatur Pemerintah Kabupaten Tangerang. Temuan ini merupakan hasil investigasi langsung dari Sekjen Otoy MAC LMPI Kresek beserta jajaran. Dugaan kuat adanya kelalaian berlapis mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinas sosial memunculkan pertanyaan tajam: di mana hati nurani para pengelola anggaran daerah?
Dalam laporan belanja publik di SIRUP-LKPP Kabupaten Tangerang, tercatat anggaran iklan media mencapai Rp30 juta pada Januari dan Juni 2025, sementara sewa penginapan dan biaya rapat eselon serta non-PNS menelan puluhan juta hanya dalam satu bulan. Namun, ironisnya, rakyat kecil seperti Ibu Ami masih terpuruk di tempat yang bahkan tidak layak disebut rumah. Apakah ini bentuk prioritas anggaran yang adil dan proporsional?
Publik berhak bertanya: sudahkah aparat Desa Kemuning dan Kecamatan Kresek menjalankan tugas pendataan dan validasi penerima manfaat secara menyeluruh dan bertanggung jawab? Dugaan lemahnya akurasi data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) menciptakan jurang besar antara realita dan laporan administratif. Jika benar begitu, ini bukan hanya maladministrasi, tetapi bentuk nyata pembiaran terhadap hak warga miskin ekstrem.
Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dijelaskan kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan bantuan sosial. Maka, setiap bentuk pembiaran dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi dan hukum.
Ketika anggaran seremonial berjalan lancar, sementara ada rakyat yang hidup seperti Ibu Ami, kita layak bertanya: adakah pengawasan yang jujur dan tegas dari para pejabat kecamatan, aparat desa, dan dinas terkait? Kami colek secara terbuka, Pemerintah Kecamatan Kresek, Pemerintah Desa Kemuning, Dinas Sosial Kabupaten Tangerang, tim PKH, serta Pemkab Tangerang secara keseluruhan. Apa tindak lanjut kalian atas kondisi ini?

Tampak depan rumah Ibu Ami yang tidak layak untuk dihuni. (Foto: MANtv7)
Ustadz Ahmad Rustam, aktivis sosial keagamaan dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, menyebut kondisi ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, melainkan “dosa sosial dan pengkhianatan amanah jabatan.” Menurutnya, pejabat yang membiarkan penderitaan rakyat kecil kehilangan kepekaan, bahkan keimanannya patut dipertanyakan.
“Kalau rumah bocor, tergenang, makan dari belas kasihan, dan anak-anak difabel dibiarkan begitu saja, maka jabatan itu sudah tidak layak disandang. Ini bukan sekadar urusan APBD, ini soal nilai kemanusiaan,” tegasnya. Ia mendesak agar pejabat terkait segera turun langsung ke lapangan dan menghentikan pola kerja yang hanya berorientasi laporan.
Masih menurut Ustadz Rustam, pembiaran sistemik terhadap warga miskin bukan hanya mencoreng martabat pemerintah daerah, tetapi juga bisa menjadi sebab keruntuhan moral kolektif bangsa. “APBD itu darah rakyat. Jangan main-main. Allah peringatkan kehancuran bagi pemimpin yang lalai,” katanya.
Fakta bahwa anggaran penginapan yang tercantum dalam SIRUP-LKPP untuk satuan kerja tertentu mencapai Rp52 juta hanya untuk satu kegiatan pada Januari 2025, menimbulkan pertanyaan kritis dari publik: mengapa alokasi sebesar itu bisa digelontorkan dengan mudah, sementara anggaran untuk kemanusiaan seperti untuk warga miskin ekstrem terkesan diabaikan? Haruskah seorang janda tua terlebih dahulu menjadi viral agar akhirnya diperhatikan pemerintah?
Kami mempertanyakan pula fungsi pengawasan internal dan eksternal, termasuk Inspektorat, Bappeda, Dinsos, serta Komisi terkait di DPRD Kabupaten Tangerang. Apakah hanya menjadi penonton atau berani menegur dan mengkoreksi jalannya pemerintahan daerah?
Kisah Ibu Ami seharusnya menjadi cambuk bagi seluruh pihak. Ia bukan sekadar potret kemiskinan, tapi simbol dari retaknya sistem pelayanan publik dan lemahnya pengawasan sosial oleh aparat yang diberi mandat untuk melayani.
Harapan kami, Pemkab Tangerang dan seluruh instansi terkait tidak berhenti di seremonial dan klarifikasi, tapi segera lakukan penanganan konkret dan komprehensif. Data ulang DTKS, buka akses pengaduan, dan tindak tegas aparat yang lalai.
Akhirnya, mari kita renungkan: Jika negara tidak hadir untuk mereka yang paling rentan, maka untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? Kami menanti langkah nyata, bukan lagi narasi pencitraan.
Karena bagi rakyat seperti Ibu Ami, setiap hari adalah pertarungan antara harapan dan keputusasaan.
(SI-AR)