Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Di sebuah rumah kecil berdinding sederhana di Kampung Pejamuran, RT 003/01, Desa Pasilian, Kecamatan Kronjo, tangis seorang ibu terdengar lebih lantang daripada suara rapat-rapat pejabat. Soviawati, balita 1 tahun 3 bulan, terbaring lemah dengan tumor di leher bawah telinga. Sementara orang tuanya, Miran dan Sunengsih, hanya bisa mengusap air mata dan berharap bantuan entah datang dari mana. Benjolan itu muncul sejak Soviawati berusia lima bulan. Awalnya kecil, dianggap sepele, seperti pembengkakan biasa. Tapi waktu berjalan, benjolan itu membesar, menyesakkan, seolah ikut menertawakan lambannya gerak instansi-instansi yang selama ini selalu bangga bicara soal “pelayanan kesehatan pro rakyat.”
“Biaya berobat memang ditanggung BPJS, tapi kami kesulitan ongkos untuk bolak-balik ke rumah sakit. Kami benar-benar tidak punya,” lirih Miran, Minggu (20/7/2025). Satu kalimat pendek, tapi rasanya lebih menusuk daripada seribu spanduk bertuliskan “Kabupaten Tangerang Sehat.” Ironi, negara katanya hadir, tapi ongkos rakyat kecil saja tak terurus.
Puskesmas Pasilian, bidan desa, hingga Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang pasti punya jawaban klasik: “Kami sudah sesuai prosedur.” Prosedur untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk mempercantik laporan bupati? PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) digadang-gadang sebagai terobosan, tapi di lapangan, apakah benar dijalankan atau cuma angka-angka di kertas yang dicetak rapi demi tepuk tangan di rapat evaluasi?
Dinas Sosial Kabupaten Tangerang juga pantas dipertanyakan. Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial katanya punya program bantuan transportasi kesehatan, tapi entah kenapa selalu “tidak terdengar” ketika rakyat kecil seperti Soviawati butuh. Mungkin bantuan hanya turun kalau ada seremonial penting, ya? Karena rakyat kecil jelas tidak masuk daftar undangan VIP.
Di level desa, Kasi Kesejahteraan (Kesra) dan Camat Kronjo pun layak disorot. Dana desa habis untuk pembangunan fisik, tapi tidak ada sepeser pun untuk menyelamatkan nyawa anak warganya sendiri. Mungkin mereka menganggap membangun jalan lebih mulia daripada membangun harapan hidup seorang balita. Camat pun tampaknya nyaman di ruangan ber-AC, karena duduk di balik meja memang lebih aman daripada berhadapan dengan keringat rakyat yang meminta bantuan.
Baznas Kabupaten Tangerang juga tidak kalah sunyi. Dana zakat dan infak yang tiap tahun dibanggakan ke publik ternyata tidak mampu menembus pintu rumah Miran. Mungkin lebih penting bikin foto rapat tahunan dengan spanduk besar bertuliskan “Kepedulian Umat” daripada benar-benar peduli, ya?
BPJS Kesehatan dan Bidang Pembiayaan Dinkes juga jangan bersembunyi di balik kata “PBI (Penerima Bantuan Iuran).” Memang biaya medis ditanggung, tapi ongkos ke rumah sakit siapa yang urus? Tumor Soviawati jelas tak bisa dioperasi hanya dengan kartu BPJS perjalanan jauh butuh ongkos, dan hati pejabat yang beku tidak bisa diklaim sebagai asuransi.
Lalu ada Komisi 2 dan Komisi 4 DPRD Kabupaten Tangerang yang katanya bertugas mengawasi. Tapi kapan terakhir kali mereka mengawasi rakyatnya yang sekarat? Jangan-jangan mereka lebih hafal jadwal rapat paripurna daripada nama anak-anak yang butuh diselamatkan.
Dan di puncaknya, Bupati dan Wakil Bupati Tangerang patut disadarkan. Laporan-laporan cantik dari bawahan ternyata tak bisa membeli ongkos berobat Soviawati. Kalau hanya duduk percaya pada laporan, itu artinya mereka pemimpin di atas kertas, bukan pemimpin di hati rakyat.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Ustad Ahmad Rustam aktivis kerohanian dan sosial Kabupaten Tangerang bersuara dengan tegas:
“Rasulullah bersabda: ‘Tidak sempurna iman seseorang jika ia tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan.’ Lalu bagaimana dengan pejabat yang tidur di kasur empuk, makan dari uang rakyat, tapi membiarkan balita kesakitan? Itu bukan sekadar lalai, itu pengkhianatan amanah. Jabatan itu kelak akan jadi hisab paling berat di hadapan Allah, dan tangisan Soviawati akan menjadi saksi,” ujar Ustad Ahmad Rustam geram.

Foto Aminudin Al Ikhlasi, Humas DPD YLPK Perari Provinsi Banten. (Foto: Mantv7.id)
Aminudin Al Ihklasi Humas DPD YLPK PERARI Banten juga turut bersuara:
“Kami menuntut semua instansi terkait dari Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Puskesmas, Baznas, camat, hingga kepala desa untuk sadar. Tupoksi itu tanggung jawab, bukan hiasan piagam di dinding kantor. Jangan tunggu viral baru bergerak. Jika masih ada pejabat yang pura-pura sibuk, itu artinya mereka makan gaji buta. YLPK Perari akan mengawal kasus ini, dan kalau perlu kami buka data kelalaian mereka,” tegas Aminudin Al Ihklasi.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Setiap pejabat bisa bersembunyi di balik seribu alasan, tapi satu tangisan Soviawati cukup untuk membongkar seberapa kosong nurani mereka. Rakyat tidak butuh kata-kata manis di spanduk, rakyat butuh tindakan nyata.
Jabatan itu bukan warisan, itu amanah; dan setiap amanah yang dikhianati akan menjadi beban hisab paling berat di dunia mungkin lolos, tapi di akhirat, tidak ada ruang lobi untuk suap air mata balita.
REDAKSI | OIM